A.
Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan
terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya
yang berada di balik perilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku. Semua
itu adalah milik bersama para anggota masyarakat dan apabila orang berbuat
sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam masyarakat. Kebudayaan dipelajari melalui
sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan unsur-unsur kebudayaan
berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu. Orang memelihara kebudayaan untuk menangani masalah dan
persoalan yang mereka hadapi. Agar lestari, kebudayaan harus dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok dari orang-orang yang hidup menurut
peraturan-peraturannya, harus memelihara kelangsungan kehidupannya sendiri dan
mengatur agar anggota-anggota masyarakat dapat hidup secara teratur. Dalam hal
ini, kebudayaan harus menemukan keseimbangan antara kepentingan pribadi
masing-masing orang dan kebutuhan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Akhirnya, kebudayaan harus memiliki kamampuan untuk berubah agar dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru atau mengubah persepsinya tentang
keadaan yang ada.
B.
Konsep Kebudayaan
Definisi
penting yang pertama tentang kebudayaan diberikan oleh ahli antropologi Inggris
Sir Edward B. Taylor pada tahun 1871. Taylor mendefinisikan kebudayaan
sebagai “kompleks keseluruhan yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan semua
kemampuan dan kebiasaan lain, yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat”. Definisi-definisi yang baru cenderung lebih mementingkan
nilai-nilai dan kepercayaan yang abstrak, yang terdapat di belakang perilaku
yang dapat diamati daripada perilaku itu sendiri. Dengan kata lain, kebudayaan
bukan perilaku yang kelihatan, tetapi lebih berupa nilai-nilai dan kepercayaan
yang digunakan oleh manusia untuk menafsirkan pengalamannya dan menimbulkan
perilaku dan yang mencerminkan perilaku itu. Maka definisi kebudayaan modern
yang dapat diterima berbunyi sebagai berikut: kebudayaan adalah seperangkat
peraturan dan standar yang apabila dipenuhi oleh para anggota masyarakat
menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para
anggotanya.
C.
Karakteristik Kebudayaan
Di
dalam semua kebudayaan terdapat sejumlah karakteristik tertentu yang menjadi
milik bersama. Studi tentang karakteristik itu dapat memberi pengertian tentang
sifat dan fungsi kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan adalah milik bersama yang
berupa cita-cita, nilai, dan norma-norma perilaku. Tidak mungkin ada kebudayaan
tanpa masyarakat yaitu sekelompok orang yang mendiami suatu daerah tertentu,
yang saling berhubungan satu sama lain dalam perjuangan hidup. Masyarakat terikat oleh hubungan-hubungan yang
ditentukan oleh struktur sosial dan organisasi sosial. Kebudayaan tidak mungkin
tanpa masyarakat, meskipun mungkin ada masyarakat tanpa kebudayaan. Kebudayaan
tidak semuanya serba seragam. Di dalam setiap masyarakat manusia pasti terdapat
perbedaan antara peranan pria dan wanita, juga variasi berdasarkan umur, dan
terdapat juga kebudayaan yang memiliki sejumlah kebudayaan khusus. Kebudayaan
khusus adalah suatu kelompok yang berfungsi di dalam kerangka umum kebudayaan
yang lebih besar, sambil menaati seperangkat peraturan yang sedikit berbeda dengan
yang baku. Masyarakat majemuk adalah masyarakat di mana variasi kebudayaan
khusus tampak dengan jelas. Karakteristiknya berupa kelompok-kelompok yang
masing-masing berjalan menurut perangkat peraturannya yang berbeda-beda.
Karakteristik
dasar yang kedua dari semua kebudayaan adalah bahwa kebudayaan merupakan hasil
belajar. Secara individual para anggota masyarakat mempelajari norma-norma
perilaku sosial yang diterima di dalam masyarakat melalui proses enkulturasi.
Enkulturasi adalah proses pewarisan kebudayaan sesuatu masyarakat dari generasi
yang satu kepada generasi yang berikutnya.
Karakteristik
ketiga adalah bahwa kebudayaan didasarkan pada sejumlah lambang. Seni, agama,
dan uang melibatkan pemakian lambang. Kebudayaan diteruskan melalui komunikasi
gagasan, emosi, dan keinginan yang dieksprersikan dalam bahasa.
Akhirnya,
kebudayaan adalah terpadu, sehingga semua aspek kebudayaan berfungsi sebagai
kesatuan yang integral. Akan tetapi dalam kebudayaan yang berfungsi baik tidak dituntut harmoni
seratus persen di antara semua unsurnya.
Tugas
seorang ahli antropologi adalah mengabstraksikan seperangkat peraturan dari apa
yang diamatinya untuk menerangkan perilaku sosial orang. Agar dapat membuat
paparan yang realistis tentang kebudayaan, bebas dari prasangka pribadi dan
prasangka budaya, ahli antropologi harus (1) mempelajari pengertian anggota
tentang bagaimana masyarakat seharusnya berjalan; (2) menentukan bagaimana
seseorang berperilaku menurut pendapatnya sendiri; dan (3) memaparkan bagaimana
perilau orang secara nyata.
D.
Kebudayaan dan Proses
Dalam
perjalanan evolusinya, adaptasi kultural telah memberi peluang kepada manusia
untuk bertahan hidup dan memencar ke berbagai lingkungan. Akan tetapi,
kadang-kadang apa yang adaptif dalam situasi keadaan yang satu atau dalam
jangka pendek tidak cocok dalam situsai keadaan yang lain atau dalam jangka panjang.
Agar
lestari, kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis yang pokok para
anggotanya, memelihara kelangsungannya, dan memelihara tata tertib di antara para
anggotanya dan di antara anggotanya dengan orang luar.
Semua
kebudayaan berubah dalam perjalanan waktu, kadang-kadang sebagai akibat
masuknya orang luar atau karena nilai-nilai di dalam kebudayaan telah mengalami
modifikasi. Kadang-kadang akibat yang tidak terduga berupa digerogotinya
seluruh struktur sosial.
Masyarakat
harus menciptakan keseimbangan antara kepentingan pribadi individu dan
kebutuhan kelompok. Kalau salah satu menjadi dominan, akibatnya mungkin berupa
hancurnya kebudayaan.
Pertanyaan
yang berulang-ulang dikemukakan oleh orang yang bukan ahli antropologi ialah
kebudayaan mana yang paling baik? Etnosentrisme ialah tendensi untuk menganggap
kebudayaannya sendiri lebih baik daripada kebudayaan semua orang lain. Salah
satu konsep yang digunakan oleh para ahli antropologi untuk melawan
etnosentrisme adalah relativisme kebudayaan, yang berarti mempelajari
kebudayaan menurut sifat-sifatnya sendiri, sesuai dengan norma-normanya
sendiri. Baik pendekatan etnosentris maupun relativisme kebudayaan menggunakan
ukuiran-ukuran subyektif. Agar sampai pada tingkat tertentu dapat mencapai
obyektivitas, ahli antropologi harus menggunakan kriteria yang berasal dari
ilmu pengetahuan dan mempelajari kebudayaan berdasarkan suksesnya bertahan
hidup.
Seiring
dengan kemajuan kebudayaan manusia, maka mau tidak mau kita telah sampai pada
era globalisasi yang tidak memandang
batas-batas ruang dan waktu lagi antara orang yang satu dengan yang lainnya
dalam menjalin komunikasi dan interaksi. Jiwa globalisasai itu sendiri adalah
informasi yang tidak berbatas. Di dalam situasi yang seperti ini terjadilah
proses lintas budaya serta silang budaya yang kemudian mempertemukan
nilai-nilai budaya satu dengan yang lainnya. Pertemuan nilai-nilai budaya atau
yang disebut kontak budaya dapat menghasilkan dua kemungkinan: (1) pertmuan
tanpa menghasilkan nilai-nilai baru yang bermakna disebut dengan asimilasi, (2)
pertemuan yang membuahkan nilai-nilai baru yang bermakna disebut akulturasi.
Di
dalam konteks kebudayaan nasional, globalisasi bukan hal yang menakutkan namun
justru membuka peluang untuk menciptakan kemajuan kebudayaan yang positif,
meskipun globalisasi itu sendiri tidak bisa bebas dari hal-hal negatif. Untuk
mengantisipasi itu, bangsa Indonesia memiliki tiga komponen yang disebut “Teori
Trikon” yaitu: (1) Kontinuitas adalah melanjutkan kebudayaan para leluhur
bangsa yang mengandung nilai-nilai positif; (2) Konvergensi adalah membuka
peluang bagi budaya manca untuk berakulturasi dengan budaya Indonesia; (3)
Konsentrisitas adalah hasil pertemuan budaya manca dengan budaya Indonesia
hendaknya dapat menghasikan budaya (nilai-nilai) baru yang bermakna.
Pada
dasarnya perubahan budaya bangsa Indonesia meliputi dua aspek sekaligus yaitu
perubahan sistem pengetahuan dan perubahan budaya politik. Sistem pengetahuan
di Indonesia harus lebih ditingkatkan kualitasnya. Perubahan sistem pengetahuan
in menyangkut lima aspek sekaligus: (1) dari egosentrisme ke sivilitas; (2)
dari pengabaian hukum ke kesadaran hukum; (3) dari fanatisme ke toleransi; (4)
dari cukup diri ke saling bergantung; (5) dari sejarah alamiah ke sejarah
manusiawi.
Untuk
menjalankan perubahan budaya di Indonesia menjadi lebih baik tersebut
diperlukan adanya dukungan pendidikan. Oleh karena dalam realitasnya kinerja
pendidikan nasional masih rendah maka persoalannya sekarang bagaimana membenahi
pendidikan itu sendiri untuk mengubah budaya bangsa agar kondusif terhadap
pembangunan nasional.
#Makalah
Kuliah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar